Meski pun baru membeli karcis seharga 30 ribu-an menuju seberang, menuju kecamatan yang jauh dari hiruk-pikuk kota, menuju kampung dimana tembuniku di tanam, dimana aku merasakan airnya yang sejuk, merasakan belaian udaranya, merasakan didikannya. Aku sudah merasa anginya sudah menyambutku dan mengucapkan salam kepadaku.
Seseorang dengan kulit hitam, tidak bergitu tinggi, wajahnya kasar, rambut yang keriting bergelombang, memaki-maki orang di depannya, dia menarik kerah baju orang yang tampak jauh lebih muda darinya. Pemuda itu hanya bisa menunduk dan sesekali meminta maaf. Tapi tetap saja dia tidak mau melepaskan tanganya dari pemuda tersebut. “Kau! Uda untung aku jadikan anak buah aku, aku kasi kau kerje, malah duet aku titip kan kau makan semue, anak kampang be kau nih!” Ucapnya dengan logat melayu. Pemuda itu pun pergi, tapi dia tidak puas dengan hanya memaki, “Anak kampang! Jangan kabur kau kalau aku lagi ngomong, kampreet.” Makinya dengan logat melayu yang kental.Lanjutkan membaca “A Week at Home (Monday, Sungai Kapuas)”